Senin, 22 Oktober 2018

Dokumenter Khaul 2018


Film Dokumenter Bismo




WISATA RELIGI BISMO

Makam Sunan Bonang Bismo Batang

Perjalanan ke Makam Sunan Bonang Bismo Batang sebenarnya tak jauh dari tempat terakhir yang kami kunjungi. Namun karena ada beberapa hal menarik selama perjalanan maka kami tiba di tempat lebih lama dari semestinya. Tempat yang disebut makam itu sebenarnya adalah petilasan yang berada di Desa Bismo, Kecamatan Blado, Kabupaten Batang.

Namun karena dibuat dalam bentuk makam, dan nama petilasan mungkin kurang menarik minat peziarah, maka orang menyebutnya Makam Aulia, yaitu Makam Sunan Bonang dan Makam Sunan Kalijaga. Keduanya di satu tempat, di dalam sebuah cungkup kubus di ruang Masjid Al Huda Bismo, di belakang ruang imam. Jarak Makam Sunan Bonang Bismo Batang dengan Pohon Jlamprang Wonobodro hanya 2,1 km, arah ke Selatan, melewati lembah dengan area persawahan subur yang luas. Kami sebenarnya melewati air hangat Ngasinan Desa Bawang Wonolobo, namun baru belakangan mengetahuinya sehingga tak mampir. 

Sunan Bonang dilahirkan dengan nama Raden Maulana Makdum Ibrahim pada 1465, atau lebih muda 15 tahun dari Sunan Kalijaga. Namun demikian, menurut cerita, adalah Sunan Bonang yang dengan kesaktiannya bisa menyadarkan Raden Said atau Berandal Lokajaya sehingga kemudian ia menjadi salah satu sembilan wali yang terkenal dengan sebutan Sunan Kalijaga.

makam sunan bonang bismo batang
Papan penanda arah dengan jalan yang menurun menuju ke Makam Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Tulisan di papan menyebut jarak 1,5 km, sedangkan hitungan saya setidaknya 1,8 km dari papan itu. Jika mengambil jalan yang di kiri bisa juga ke makam namun harus memutar, dan jika lurus akan sampai ke Agrowisata Perkebunan Teh Pagilaran.

Setelah 3 menit berkendara dari jalan bercabang itu, jalan yang kami lewati mulai menanjak. Jalannya tak lebar, namun cukup mulus. Sebuah poster di pinggir jalan menyebutkan Desa Bismo berada di Dataran Tinggi Dieng yang masuk Kabupaten Batang, dimana terdapat hutan lindung, kawasan resapan air, sumber mata air, dan cagar budaya. Setelah tanjakan, ada akses jalan kecil ke bawah dengan tulisan "Air Keramat (Tuk)", yang sepertinya tempat orang untuk bersuci sebelum berziarah ke Makam Sunan Bonang, wali yang membujang hingga wafat ini.

Ada pintu samping di bawah beton penyangga bangungan masjid yang menjadi akses ke Makam Sunan Bonang. Ketika saya berkunjung, Masjid Al Huda masih dalam proses perbaikan. Dinding bagian depan luarnya, serta lantai atas masih belum selesai dikerjakan. Oleh sebab itu pengunjung wisata spiritual yang akan ke makam diarahkan melewati pintu samping ini.

Kakek Sunan Bonang adalah Maulana Malik Ibrahim yang menurunkan Sunan Ampel, atau ayah Sunan Bonang. Ibunya bernama Nyai Ageng Manila. Sunan Bonang wafat pada 1525 M dan dimakamkan di Desa Bonang, Lasem, Rembang. Namun ada pula "makamnya" di belakang Masjid Agung Tuban, di Tambak Kramat Pulau Bawean, dan di Singkal Kediri.

Cungkup Makam atau petilasan Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga berada di dalam ruangan di sebelah belakang ruang utama Masjid Al Huda, Desa Bismo. Keempat sisinya tertutup kain, dan tak ada keinginan menyingkapnya untuk melihat jirat kuburnya. Kami masuk bukan dari dalam masjid, namun lewat pintu samping, melewati sejumlah undakan.

Di dalam masjid ini kabarnya disimpan peci Sunan Bonang yang dibuat dari anyaman sejenis akar, juga ada Al Qur'an tulis tangan peninggalannya, namun saya tak sempat melihatnya. Ada pula pohon jambu air di sisi utara masjid yang konon ditanam oleh Sunan Kalijaga, yang mestinya sudah berumur ratusan tahun, karena sang sunan wafat pada 1586 (ada yang menyebut 1513) maka bisa diperkirakan umur pohon itu. Konon Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga memang pernah bertandang ke Desa Bismo ini dalam rangka dakwah.

Ruang utama Masjid Al Huda Desa Bismo terkesan sempit karena dibagi dengan jamaah wanita di sebelah kiri, oleh sebab ruangan di bagian lainnya masih sedang diperbaiki. Kami masuk dari ruang belakang dimana terdapat makam, atau tepatnya petilasan Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga, lewat lubang di sebelah kanan itu. Yang terlihat sangat menonjol di dalam masjid ini adalah adanya struktur kayu dengan empat tiang, dan ada pula dudukan kayu di bagian atasnya yang menjadi penyangga atap.

Sepertinya itu adalah soko guru dari masjid asli sebelum direhab menjadi bentuk yang sekarang ini. Konon masjid ini awalnya dibuat oleh dua orang wali itu. Warisan Sunan Bonang diantaranya adalah komposisi Gending Dharma yang konon bisa membawa orang masuk ke alam meditasi, hanya tak jelas apakah gending ini masih ada atau tidak. Adalah juga Sunan Bonang yang menambahkan perangkat bonang dan rebab pada gamelan, serta menciptakan tembang Tombo Ati yang terkenal hingga sekarang itu.

Sejumlah suluk juga disebut sebagai ciptaan Sunan Bonang. Diantaranya adalah Suluk Bentur, Suluk Ing Aewuh, Suluk Jebeng, Suluk Khalifah, Suluk Pipiringan, Suluk Regok, Suluk Wasiyat, dan Suluk Wujil yang berisi ajaran kepada Wujil, pelawak cebol terpelajar dari Majapahit. Ada pula karangannya yang diberi nama Wejangan Seh Bari. 

SEJARAH MATA AIR BISMO



Warga Desa Bismo percaya, air tak akan habis di tanah mereka. Telah puluhan bahkan ratusan tahun, daerah itu seakan diberkahi Tuhan dengan air berkelimpahan.
Turun-temurun, dari generasi ke generasi, mereka meyakini hal tersebut. Sekitar 1.007 penduduk dari 319 KK yang hidup di desa yang terletak di Kecamatan Blado, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, itu hakulyakin air tak bakal lesap.
"Namanya saja Bismo, yang artinya mbese ono limo atau mata airnya berpancar lima, mana mungkin kekeringan. Dulu menganggapnya begitu.
Julukan "Bismo" diberikan oleh aulia, pendiri Desa Bismo yang bernama Kyai Jamsari. ada lima kompleks mata air di Bismo, yakni Mubal, Makandowo, Pucung, Lingsar, dan Dadapan.
Masing-masing kompleks sumber air terdiri atas sejumlah mata air lain yang difungsikan sebagai wilayah penangkap, penampung, dan pembagi air ke rumah warga. Bahkan, Neman yang pernah menjabat sebagai kepala desa Bismo pada 1999-2013 berujar, ia sendiri tak yakin persis berapa jumlah pasti keseluruhan mata air itu.
Pada ketinggian 850 meter di atas permukaan laut (dpl), puluhan pancaran air itu tersebar di wilayah seluas 557.775 hektare. Tak heran, jika mereka berasumsi tak ada kekeringan melanda.
Dari lima kompleks sumber air yang ada, kata Neman, warga Bismo yang tinggal di tujuh RT memanfaatkan empat di antaranya untuk kebutuhan air sehari-hari. Sumber air Mubal, yang debitnya terbesar, disalurkan pula oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) ke Kabupaten Batang.
Banyak hikayat menarik dari seluruh sumber mata air tersebut. Salah satunya, sejarah sumber mata air Pucung.
Konon, kata Neman, dahulu terdapat pohon pucung (sering disebut pohon kluwek atau kepayang) tak jauh dari sumber mata air tersebut. Dari sanalah, nama pucung didapatkan. Pohon itu dianggap sangat keramat. Jangankan menebang, mendekatipun tidak boleh sembarangan.
Pemaknaan lain oleh warga, pucung merupakan akronim dari frasa bahasa Jawa luput ngacung, artinya "yang salah acungkan tangan". Kepercayaan warga, barang siapa meminum air Sumber Pucung akan mengatakan kebenaran dan mengakui kesalahan-kesalahannya.
"Maling yang nggak ngaku, setelah diminumkan air ini langsung ngaku," tutur pria yang juga menjadi pengurus Ranting Nahdlatul Ulama Kecamatan Blado itu. Selain itu, Desa Bismo juga dikenal karena memiliki sumber air keramat bernama Tuk Limo, yang berada di kompleks sumber air Mubal (dalam bahasa Indonesia berarti memancar deras—Red.). Tuk Limo diyakini sebagai petilasan Sunan Kalijaga yang makam dan sejumlah peninggalannya terjaga di Masjid Al Huda, Desa Bismo.
Bismo memang tersohor karena situs-situs religi berupa makam dan petilasan para penyebar syiar Islam. Makam Sunan Kalijaga (Raden Sa'id), Sunan Bonang (Syekh Maulana Makdum Ibrahim), Wali Bali, Wali Pethuk, Syekh Makhsum, Syekh Bani, Syekh Nur Khalim, Syekh Rahimuden, Siti Khotijah, hingga Siti Barokah (Kanjeng Ibu Raden Ayu Mayang Sari), sering diburu sebagai objek wisata maupun ziarah keagamaan.
Sebelum bertandang ke petilasan waliullah itu, peziarah terlebih dahulu mandi atau mengambil air di Tuk Limo yang berbentuk nyaris bundar berdiameter sekitar satu meter. Turna, salah satu warga mengatakan, air Tuk Limo dipercaya membawa berkah dan memiliki banyak khasiat. Dengan menyimpan berbagai asa, para peziarah minum, mencuci muka, atau memasok air ke dalam botol untuk didoakan di makam wali dan dibawa pulang. Sebagian orang meyakini, air itu bisa menyembuhkan penyakit membuat awet muda, membantu doa cepat diijabah, enteng jodoh, dan segala kebaikan lain.
"Tidak tahu benar atau tidak, yang jelas air memancar terus sepanjang tahun. Seperti air zam-zam tidak habis-habis," kata Turna yang berprofesi sebagai Aparatur Desa Bismo itu.
Keberadaan sumber air Tuk Limo turut menghidupkan perekonomian warga. Ta'mir Masjid Al Huda, Sugi (44 tahun), berkata, setiap hari selalu ada peziarah datang, mayoritas berasal dari Kendal, Pemalang, Batang, Pekalongan, Sukorejo, dan Semarang. Saat-saat ramai ialah pada malam Jumat Kliwon dan pada Muharram. Pengunjung akan membeludak hingga ratusan dalam sepekan.
Otomatis, warga yang mayoritas bertani dan berkebun juga mendapatkan profesi tambahan. Misalnya, berjualan makanan atau menjadi pemandu para peziarah.
Jarak antara masjid dan mata air keramat memang tak terlalu jauh. Akan tetapi, untuk menuju Tuk Limo, pegunjung harus melintasi jalan setapak menurun yang berliku sejauh kira-kira 300 meter dari jalan utama.
Pengunjung yang sudah lanjut usia kerap memberi imbalan jasa bagi warga yang memandu atau membopong menuju lokasi. Selain itu, para peziarah juga kerap memberikan sumbangan ke kotak-kotak masjid.
"Kalau sedang ramai dana sumbangannya bisa sampai jutaan rupiah tiap pekan, kami gunakan untuk tambahan biaya pembangunan masjid, yang selama ini juga menggunakan biaya swadaya masyarakat dan bantuan dari pemerintah daerah," kata Sugi.
Riwayat panjang sejumlah sumber air dan fungsi krusialnya di tataran sosial ekonomi mendorong warga Bismo melakukan sejumlah langkah pelestarian. Sejak lama, warga telah memulai reboisasi, konservasi, dan aksi pelestarian vegetasi, terlebih setelah adanya penebangan hutan massal pada 1990-an.
Warga yang dahulu mayoritas menanam singkong dan jagung, telah beralih menanam teh. Selain lebih menguntungkan secara ekonomi karena masa panen yang lekas, pilihan itu juga ramah bagi alam.
Peralihan komoditas tanaman itu dikoordinasi pula oleh sang mantan kepala Desa Bismo Neman Surono. Awalnya, tak mudah bagi Neman meyakinkan warga untuk berpaling. Terlebih, makanan pokok warga kala itu masih gaplek dan nasi jagung. Dua menu karbohidrat khas Jawa itu berbahan dasar singkong dan jagung.
Ia tak pendek akal. Dianalisisnya masalah yang kerap dijumpai warga, yakni babi hutan alias celeng yang sering memakan tanaman. Setiap bulan, masyarakat terbebani karena harus membayar iuran untuk biaya pemburu celeng. Maka, Neman menawarkan solusi pada warga untuk beralih menanam teh, yang bebas hama celeng, dan bisa dipanen tiga minggu sekali.
Warga juga dihimbau menanam rerupa pohon keras di antara semak teh. Pohon saman, sengon, suren, jengkol, dan sejumlah pohon buah, seperti manggis, kelengkeng, jeruk, dan durian ditanam sebagai upaya konservasi air dan mencegah tanah longsor. "Kami sadar bahwa air adalah kebanggaan kami, kalau tidak ada lagi, apa yang mau kami banggakan?"