Senin, 22 Oktober 2018

SEJARAH MATA AIR BISMO



Warga Desa Bismo percaya, air tak akan habis di tanah mereka. Telah puluhan bahkan ratusan tahun, daerah itu seakan diberkahi Tuhan dengan air berkelimpahan.
Turun-temurun, dari generasi ke generasi, mereka meyakini hal tersebut. Sekitar 1.007 penduduk dari 319 KK yang hidup di desa yang terletak di Kecamatan Blado, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, itu hakulyakin air tak bakal lesap.
"Namanya saja Bismo, yang artinya mbese ono limo atau mata airnya berpancar lima, mana mungkin kekeringan. Dulu menganggapnya begitu.
Julukan "Bismo" diberikan oleh aulia, pendiri Desa Bismo yang bernama Kyai Jamsari. ada lima kompleks mata air di Bismo, yakni Mubal, Makandowo, Pucung, Lingsar, dan Dadapan.
Masing-masing kompleks sumber air terdiri atas sejumlah mata air lain yang difungsikan sebagai wilayah penangkap, penampung, dan pembagi air ke rumah warga. Bahkan, Neman yang pernah menjabat sebagai kepala desa Bismo pada 1999-2013 berujar, ia sendiri tak yakin persis berapa jumlah pasti keseluruhan mata air itu.
Pada ketinggian 850 meter di atas permukaan laut (dpl), puluhan pancaran air itu tersebar di wilayah seluas 557.775 hektare. Tak heran, jika mereka berasumsi tak ada kekeringan melanda.
Dari lima kompleks sumber air yang ada, kata Neman, warga Bismo yang tinggal di tujuh RT memanfaatkan empat di antaranya untuk kebutuhan air sehari-hari. Sumber air Mubal, yang debitnya terbesar, disalurkan pula oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) ke Kabupaten Batang.
Banyak hikayat menarik dari seluruh sumber mata air tersebut. Salah satunya, sejarah sumber mata air Pucung.
Konon, kata Neman, dahulu terdapat pohon pucung (sering disebut pohon kluwek atau kepayang) tak jauh dari sumber mata air tersebut. Dari sanalah, nama pucung didapatkan. Pohon itu dianggap sangat keramat. Jangankan menebang, mendekatipun tidak boleh sembarangan.
Pemaknaan lain oleh warga, pucung merupakan akronim dari frasa bahasa Jawa luput ngacung, artinya "yang salah acungkan tangan". Kepercayaan warga, barang siapa meminum air Sumber Pucung akan mengatakan kebenaran dan mengakui kesalahan-kesalahannya.
"Maling yang nggak ngaku, setelah diminumkan air ini langsung ngaku," tutur pria yang juga menjadi pengurus Ranting Nahdlatul Ulama Kecamatan Blado itu. Selain itu, Desa Bismo juga dikenal karena memiliki sumber air keramat bernama Tuk Limo, yang berada di kompleks sumber air Mubal (dalam bahasa Indonesia berarti memancar deras—Red.). Tuk Limo diyakini sebagai petilasan Sunan Kalijaga yang makam dan sejumlah peninggalannya terjaga di Masjid Al Huda, Desa Bismo.
Bismo memang tersohor karena situs-situs religi berupa makam dan petilasan para penyebar syiar Islam. Makam Sunan Kalijaga (Raden Sa'id), Sunan Bonang (Syekh Maulana Makdum Ibrahim), Wali Bali, Wali Pethuk, Syekh Makhsum, Syekh Bani, Syekh Nur Khalim, Syekh Rahimuden, Siti Khotijah, hingga Siti Barokah (Kanjeng Ibu Raden Ayu Mayang Sari), sering diburu sebagai objek wisata maupun ziarah keagamaan.
Sebelum bertandang ke petilasan waliullah itu, peziarah terlebih dahulu mandi atau mengambil air di Tuk Limo yang berbentuk nyaris bundar berdiameter sekitar satu meter. Turna, salah satu warga mengatakan, air Tuk Limo dipercaya membawa berkah dan memiliki banyak khasiat. Dengan menyimpan berbagai asa, para peziarah minum, mencuci muka, atau memasok air ke dalam botol untuk didoakan di makam wali dan dibawa pulang. Sebagian orang meyakini, air itu bisa menyembuhkan penyakit membuat awet muda, membantu doa cepat diijabah, enteng jodoh, dan segala kebaikan lain.
"Tidak tahu benar atau tidak, yang jelas air memancar terus sepanjang tahun. Seperti air zam-zam tidak habis-habis," kata Turna yang berprofesi sebagai Aparatur Desa Bismo itu.
Keberadaan sumber air Tuk Limo turut menghidupkan perekonomian warga. Ta'mir Masjid Al Huda, Sugi (44 tahun), berkata, setiap hari selalu ada peziarah datang, mayoritas berasal dari Kendal, Pemalang, Batang, Pekalongan, Sukorejo, dan Semarang. Saat-saat ramai ialah pada malam Jumat Kliwon dan pada Muharram. Pengunjung akan membeludak hingga ratusan dalam sepekan.
Otomatis, warga yang mayoritas bertani dan berkebun juga mendapatkan profesi tambahan. Misalnya, berjualan makanan atau menjadi pemandu para peziarah.
Jarak antara masjid dan mata air keramat memang tak terlalu jauh. Akan tetapi, untuk menuju Tuk Limo, pegunjung harus melintasi jalan setapak menurun yang berliku sejauh kira-kira 300 meter dari jalan utama.
Pengunjung yang sudah lanjut usia kerap memberi imbalan jasa bagi warga yang memandu atau membopong menuju lokasi. Selain itu, para peziarah juga kerap memberikan sumbangan ke kotak-kotak masjid.
"Kalau sedang ramai dana sumbangannya bisa sampai jutaan rupiah tiap pekan, kami gunakan untuk tambahan biaya pembangunan masjid, yang selama ini juga menggunakan biaya swadaya masyarakat dan bantuan dari pemerintah daerah," kata Sugi.
Riwayat panjang sejumlah sumber air dan fungsi krusialnya di tataran sosial ekonomi mendorong warga Bismo melakukan sejumlah langkah pelestarian. Sejak lama, warga telah memulai reboisasi, konservasi, dan aksi pelestarian vegetasi, terlebih setelah adanya penebangan hutan massal pada 1990-an.
Warga yang dahulu mayoritas menanam singkong dan jagung, telah beralih menanam teh. Selain lebih menguntungkan secara ekonomi karena masa panen yang lekas, pilihan itu juga ramah bagi alam.
Peralihan komoditas tanaman itu dikoordinasi pula oleh sang mantan kepala Desa Bismo Neman Surono. Awalnya, tak mudah bagi Neman meyakinkan warga untuk berpaling. Terlebih, makanan pokok warga kala itu masih gaplek dan nasi jagung. Dua menu karbohidrat khas Jawa itu berbahan dasar singkong dan jagung.
Ia tak pendek akal. Dianalisisnya masalah yang kerap dijumpai warga, yakni babi hutan alias celeng yang sering memakan tanaman. Setiap bulan, masyarakat terbebani karena harus membayar iuran untuk biaya pemburu celeng. Maka, Neman menawarkan solusi pada warga untuk beralih menanam teh, yang bebas hama celeng, dan bisa dipanen tiga minggu sekali.
Warga juga dihimbau menanam rerupa pohon keras di antara semak teh. Pohon saman, sengon, suren, jengkol, dan sejumlah pohon buah, seperti manggis, kelengkeng, jeruk, dan durian ditanam sebagai upaya konservasi air dan mencegah tanah longsor. "Kami sadar bahwa air adalah kebanggaan kami, kalau tidak ada lagi, apa yang mau kami banggakan?"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar